TUGAS
“REKAYASA LALU LINTAS”
Di
Susun Oleh:
ERLITA
(16 630 066)
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2019
- · Pembahasan
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab kematian
terbesar di Indonesia. Jumlah korban yang cukup besar akan memberikan dampak
ekonomi (kerugian material) dan sosial yang tidak sedikit, berbagai usaha
preventif hingga perbaikan lalu lintas dengan melibatkan berbagai pihak yang
terkait hasilnya belum sesuai yang diharapkan. Dalam meningkatkan keamanan lalu
lintas di jalan terdapat 3 (tiga) bagian yang saling berhubungan dengan operasi
lalu lintas, yakni: pengemudi, kendaraan, dan jalan raya.1
Data kecelakaan yang ada dari Jasa Marga dari tahun ke tahun bahwa
penyebab kecelakaan yang terbesar disebabkan oleh faktor manusia (pengemudi).
Penyebab kecelakaan yang dilakukan akibat kendaraan terutama jalan raya
(geometrik) sangatlah kecil pengaruhnya. Hal ini sangat kontradiksi dengan
kenyataan yang ada bahwasanya traffic engineer hanya dapat mengendalikan
salah satu bagian, yakni; Jalan Raya. Dengan banyaknya lokasi kecelakaan (Blackspot)
jalan tol Jagorawi akan berakibat menurunnya kinerja ruas jalan tersebut,
mengurangi kenyamanan dan bahkan membahayakan kenyamanan dan keselamatan
pengguna jalan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka studi daerah rawan kecelakaan
diruas jalan tersebut perlu dilakukan, kemudian dicari pemecahannya untuk
mengurangi jumlah dan tingkat kecelakaan yang ada.
Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan, sepanjang tahun itu
terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap
9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan.(Departemen Perhubungan, 2010)
Jika dihitung dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia tahun itu,
kerugian ekonominya mencapai lebih dari Rp 81 triliun. Jumlah tersebut meliputi
perhitungan potensi kehilangan pendapatan para korban kecelakaan, perbaikan
fasilitas infrastruktur yang rusak akibat kecelakaan, rusaknya sarana
transportasi yang terlibat kecelakaan, serta unsur lainnya.2
Badan kesehatan dunia WHO mencatat, hingga saat ini lebih dari 1,2
juta nyawa hilang di jalan raya dalam setahun, dan sebanyak 50 juta orang
lainnya menderita luka berat. Dari seluruh kasus kecelakaan yang ada, 90 persen
di antaranya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kerugian
materiil yang ditimbulkan mencapai sekitar 3 persen dari PDB tiap-tiap negara.
(Departemen Perhubungan, 2010). Kondisi inilah yang memicu PBB untuk
mengeluarkan resolusi dengan membentuk Global Road Safety Partnership (GRSP)
di bawah pengawasan WHO pada tahun 2006, dengan tujuan utama menekan angka
kecelakaan dan tingkat fatalitas yang ditimbulkan terhadap korban-korbannya.
PBB meminta negara-negara anggotanya untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis
baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk meminimalisasi jumlah maupun
akibat yang ditimbulkan dari kecelakaan jalan raya.3
Kemudian di Indonesia diterjemahkan dengan membentuk suatu
kelompok partnership yang namanya juga Global Road Safety Partnership (GRSP)
Indonesia atau dengan falsafahnya yang dikenal sebagai Gotong Royong Selamatkan
Pengguna Jalan. (Departemen Perhubungan, 2010), (Departemen Komunikasi dan Informatika,
2008).
Sebagai gambaran, angka korban tewas akibat peristiwa kecelakaan
lalintas di Jawa Barat setahun terakhir ini mencapai 15.965 orang, luka berat
sebanyak 43.458 orang, dan yang mengalami luka ringan tercatat sebanyak 24.355
orang.(Nanang Sutisna, 2010). Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi kapan saja.
Namun terdapat saat-saat dimana jumlah dapat meningkat seperti pada saat
menjelang Idul fitri dimana terjadi arus mudik besar-besaran. Seperti yang
disebutkan Posko Mudik Lebaran Departemen Perhubungan pada seluruh akses jalan
tol di Pulau Jawa Tahun 2009, mencatat jumlah kecelakaan yang meningkat 54
persen dari rentang waktu yang sama pada tahun lalu.4 Sekitar 70 persen
kecelakaan lalu lintas (Lakalantas) di jalan raya di Indonesia disebabkan oleh
para pengendara sepeda motor, kata pakar transportasi, Djoko Setyowarno.5
Publik dikagetkan dengan berita kecelakaan yang melibatkan Abdul
Qodir Jaelani atau Dul, anak pasangan musisi Ahmad Dhani dan Maia
Estianty. Dul yang mengendarai mobil sedan Lancer B 80 SAL menabrak Gran Max B
1349 TFN dan Avanza B 1882 UZJ di tol Jagorawi, Minggu dini hari. Akibat
kecelakaan itu, setidaknya 5 orang dikabarkan meninggal, dan beberapa lagi
mengalami luka serius, termasuk Dul dan temannya. Dul kini baru berusia 13
tahun, dan dianggap belum cukup umur untuk mengendarai mobil. Apalagi dia juga
belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).6
Kecelakaan Dul ini menambah panjang angka kecelakaan yang
melibatkan anak-anak di bawah umur 16 tahun. Data kecelakaan sepanjang 2013
memang belum di rilis oleh Polda Metro Jaya. Tapi berkaca pada angka kecelakaan
2012 lalu, setidaknya terdapat 104 kasus kecelakaan lalu lintas dengan pelaku
utama anak-anak di bawah 16 tahun. Angka itu melonjak 160 persen dibanding
tahun sebelumnya, 2011, yang hanya tercatat 40 kasus. Sementara kelompok usia
lainnya, antara usia 22 sampai 30 tahun mencatat kenaikan 8,53 persen,
selebihnya justru menurun antara 2-6 persen. Anggota Komisi X DPR RI Surahman
Hidayat mengatakan, data itu harus dijadikan sebagai peringatan bagi semua
orang tua agar terus mengawasi anak sebaik-baiknya. Kejadian ini menjadi
pelajaran bagi para orangtua, memberikan perhatian atau kasih sayang kepada
anak tidak selalu dengan kemewahan, seperti membelikan kendaraan roda dua atau
empat.7 Apalagi, dia melanjutkan, anak-anak itu masih di bawah
umur. Sesuai dengan Pasal 81 ayat 1 dan 2, untuk mendapatkan SIM, setiap
pengemudi harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan dan lulus
ujian. Untuk SIM A, C, dan D, minimal pemilik SIM harus berusia 17 tahun.
Sedangkan B1 minimal 20 tahun dan B2 minimal 21 tahun".
Kasus AQJ mengangkat kembali pembahasan tentang penyelesaian
masalah anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang pernah mengemuka beberapa waktu
lalu pada kasus AAL, anak yang mencuri sandal jepit di Palu. Perdebatan yang
muncul sama, apakah anak layak untuk dijatuhi hukum pidana, atau masalahnya
dapat diselesaikan di luar pengadilan Jawaban masalah ini menjadi krusial
karena data Komnas Perlindungan Anak menyebutkan ada 6000-an anak yang setiap
tahunnya berurusan dengan hukum.
- · Metode Penelitian
Bentuk penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian
lapangan (Socio Legal Research) yang terdiri dari:
1. Metode pendekatan
Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis
sosiologis, yaitu melihat hukum sebagai perilaku manusia dalam masyarakat.
2. Lokasi Penelitian
Penyusunan skripsi ini akan didahului dengan suatu penelitian
awal. Maka dari itu penulis mengadakan pengadaan penelitian awal berupa
mengumpulkan data yang menunjang masalah yang diteliti. Selanjutnya dalam
penelitian ini, penulis melakukan penelitian di Polres Malang, dan dibeberapa
tempat yang menyediakan bahan pustaka yaitu di Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang.
3. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah jenis data dokumen tertulis, file, rekaman,
informasi, pendapat dan lain-lain yang diperoleh dari sumber yang
utama/pertama.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari dokumen
tertulis, file, rekaman, informasi, pendapat dan lain-lain yang diperoleh dari
sumber kedua (buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu, dan lain-lain yang
diberikan oleh pihak yang terkait dalam hal ini di Polres Malang, Serta
instansi lain yang memiliki hubungan yang akan dibahas dalam tulisan ini.
4. Teknik Pengumpulan
Data
Pengumpulan data dilakukan yakni metode penelitian kepustakaan (libraryresearch)
dan metode penelitian lapangan (field research) Metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan guna
mengumpulkan sejumlah data dari berbagai literatur yang ada yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas.
5. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh baik dari data sekunder kemudian
akan dianalisis dan diolah dengan metode kualitatif untuk menghasilkan
kesimpulan. Dan kemudian disajikan secara deskriptif, guna memberikan pemahaman
yang jelas dan terarah dari hasil penelitian nantinya.
- · Hasil dan Kesimpulan
Paradigma Penyelesaian Kasus Pidana Anak
Untuk mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, telah
disahkan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam UU yang
terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan bahwa yang disebut Anak dalam kasus Anak
yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
Asas yang dianut dalam Sistem Peradilan Anak di antaranya adalah:
kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang anak; pembinaan dan pembimbingan
anak; perampc c ftasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
penghindaran pembalasan. Pasal 3 UU tersebut
menyatakan, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak di antaranya: a.
Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Melakukan kegiatan rekreasional;
d. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; e. Tidak dijatuhi pidana
mati atau pidana seumur hidup; dan f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara,
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun
yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja
Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan
restoratif sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak
pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya
dilakukan melalui diskresi dan diversi.
Diskresi adalah kebijaksanaan
dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku tetapi
atas dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan. Diskresi dalam kasus ABH
dapat dilakukan oleh polisi saat proses penyidikan,
misalnya dengan menghentikan proses penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi
lain seperti musyawarah atau kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
Fakta di lapangan menunjukkan angka kriminalitas anak terus
bertambah tiap tahunnya. Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH
tahun 2011 yang sampai pada lembaga ini sebanyak 1.851 kasus, meningkat
dibanding tahun 2010 sebanyak 730 kasus.10
Berdasarkan dari uaraian penjelasan latar belakang tersebut maka
penulis tertarik untuk menjadikan judul: “Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Oleh Anak Di Bawah Umur
Melalui Restorative Justice” (Sebagai studi hukum di polres malang)